Menuju Desa Wisata Berkelanjutan, Sembungan Berbenah Lebih Ramah Pada Lingkungan

Tulisan ini dimuat di good news from indonesia

Oleh : Banatul Muflihati

Ketergantungan masyarakat Desa Sembungan terhadap pertanian menyebabkan pembukaan lahan kawasan hutan tanpa memperhatikan kaidah konservasi. Padahal, Dieng merupakan kawasan penyangga bagi beberapa kabupaten di sekitarnya. Ketidakseimbangan pemanfaatan lahan ini membuat degradasi lingkungan.

Tidak mudah menyadarkan masyarakat agar lebih memerhatikan kondisi tanah meski kerusakan lingkungan telah tampak nyata. Dalam keresahan itu, hadirlah sosok Tafrihan yang tidak pernah lelah mengedukasi masyarakat Desa Sembungan yang semula hanya bertani hingga menyadari potensi besar wisata di dalamnya.

Beliau memang sudah malang melintang dalam pembangunan sosial, pemberdayaan desa dan gerakan peduli lingkungan. Sebagai Ketua Badan Pengawas Pokdarwis Cebong Sikunir di Desa Sembungan, ide kreatifnya dituangkan dalam program inovasi wisata untuk mengembangkan masyarakat lebih bersiap menuju pariwisata berkelanjutan.

Menurut World Tourism Organization (WTO), pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang memperhatikan dampak ekonomi, sosial, serta lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung, industri, lingkungan hidup, dan masyarakat setempat.

Mengacu definisi tersebut, Tafrihan mencoba membangun pariwisata berkelanjutan berbasis komunitas. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada lahan pertanian.

Sembungan, Berlian di Ketinggian

Sembungan memang istimewa. Terletak di ketinggian sekitar 2300 mdpl menjadi desa tertinggi di Pulau Jawa. Luas wilayahnya mencapai 291.730 Ha, itupun belum termasuk hutan negara.

Desa yang terletak di kawasan dataran tinggi Dieng ini, secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.

Bentang alam pusaka saujana yang mengelilingi desa menjadikan Desa Sembungan sebagai destinasi favorit mayoritas pengunjung Dieng. Terbentang kompleks Gunung Pakuwaja, Gunung Seroja, Bukit Sikunir dan perbukitan kecil lainnya yang telah beralih fungsi jadi lahan pertanian kentang.

Di tengah-tengah, terdapat Telaga Cebong yang menjadi sumber pengairan pertanian di sekitarnya. Sekitar 3 kilometer dari telaga, ada Curug Sikarim yang membelah perbukitan di bagian selatan pegunungan Dieng.

Sembungan juga menawarkan ragam wisata budaya. Ada berbagai macam tarian tradisional, Makam Joko Sembung yang diyakini sebagai pemberi nama desa Sembungan, dan ruwatan rambut gembel.

Dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasanya, Desa Sembungan telah memiliki modal kuat untuk menjadi desa wisata berkelanjutan. Itulah yang sedang diperjuangkan Tafrihan, membangun perekonomian masyarakat berbasis pariwisata guna mengurangi eksploitasi lahan.

20 Tahun Berjuang Menghadapi Berbagai Tantangan

Menyadari akan kerusakan yang terjadi di Dieng, pada tahun 2002 Tafrihan menginisiasi gerakan penyadaran masyarakat agar lebih peduli lingkungan. Salah satu desa yang menjadi fokus beliau adalah Sembungan.

Sejak tahun 2008, didirikanlah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dengan SK resmi dari pemerintah Kepala Desa Sembungan. Dilanjutkan 8 tahun setelahnya, pengajuan ke Notaris dan Kemenkumham RI hingga mendapatkan SK Badan Hukum dengan Nomor : AHU 0006068.AH.01.07.TAHUN 2016 akta No: 14. Tgl: 12 Januari 2016.

Diperkuat lagi dengan SK terbaru oleh Kepala Desa dengan nomor 1 tahun 2019 serta dibuatkan SK Pengelola dengan nomor NOMOR: 556/08/ TAHUN 2020. Mengesahkan sebanyak 286 orang dari desa Sembungan dan 52 orang dari warga desa Mlandi yang bertanggung jawab sebagai pengelola Curug Sikarim dan sekitarnya.

Upaya mendasar yang dilakukan adalah mengedukasi masyarakat terkait pengolahan sampah, dengan menyediakan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Proyek ini dimulai sejak tahun 2017, bekerja sama dengan Bank Indonesia.

Bank Sampah ini menempati lahan seluas 900 m2 dan memiliki daya tampung hingga 100 m3. Difungsikan sebagai lokasi masyarakat mengolah sampah dari setiap rumah untuk dijadikan paving.

Sejak tahun 2019 Desa Sembungan juga sudah mendapatkan sertifikat Lokasi Program Kampung Iklim (Proklim) Kategori Utama. Penghargaan ini sebagai bentuk apresiasi pada desa yang aktif melakukan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Upaya Tafrihan bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil ketika memenangkan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022 kategori Desa Wisata Rintisan. Disusul dengan meraih Kampung Berseri Astra (KBA) 2022.

Dua penghargaan bergengsi tersebut rupanya tidak membuat pegiat wisata di sana lekas puas. Tapi justru semakin tertantang mengembangkan desa wisata berdaya saing dengan konsep pariwisata berkelanjutan.

Dalam penjelasannya, Tafrihan juga menyampaikan bahwa saat ini sedang dilakukan penataan kios dan lahan parkir di sekitar telaga. Pembangunan ini didanai oleh APBN, didasarkan pada masterplan yang sudah dirancang sejak tahun 2013.

Hambatan yang ada bukanlah penyurut langkah untuk berbenah. Sejak meraih Kampung Berseri Astra (KBA) 2022 tampaknya menjadi privilese tersendiri karena program pendampingan yang dilakukan mengakselerasi pemenuhan aspek desa wisata berkelanjutan melalui integrasi 4 pilar program yaitu pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan kesehatan.

Bersama perangkat desa dan Pokdarwis, Tafrihan membentuk penggerak yang mengkoordinir masing-masing bidang untuk pencapaian 4 pilar tersebut.

Di bidang pendidikan, telah dikembangkan perpustakaan desa sebagai pusat kegiatan literasi masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Untuk mensejahterakan masyarakat di bidang kesehatan, tersedia layanan Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU), Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU), ambulan desa, serta dukungan finansial bagi lansia.

Program untuk lingkungan, masih terus mengembangkan pengelolaan sampah dengan berbagai macam pelatihan dan pendampingan dari para pakar. Hal ini ditujukan agar warga mempunyai keterampilan pengolahan sampah menjadi barang bernilai jual.

Sementara bidang kewirausahaan, terus dilakukan pengembangan UMKM. Mulai dari penyediaan homestay dengan fasilitas memadai, ojek wisata, usaha kuliner produk olahan pangan lokal, dan aneka souvenir.

Keberhasilan sektor kewirausahaan di Desa Wisata Sembungan ditandai dengan 75% masyarakatnya kini telah merambah dunia UMKM. Untuk mendukung kenyamanan pengunjung, terdapat 40 homestay, 191 ojek wisata, 80 pengelola kios, dan 12 unit toilet bersih dengan 2 diantaranya dikhususkan bagi penyandang disabilitas.

Keberadaan Desa Wisata Sembungan dengan pengelolaannya berbasis komunitas, menjadi potensi yang besar bagi masa depan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan. Apalagi saat ini kawasan Dieng sedang diusulkan ke UNESCO sebagai geopark global dengan 5 titik geosite berada di Desa Sembungan, yaitu Telaga Cebong, Bukit Sikunir, Kompleks Gunung Pakuwaja, Kompleks Gunung Seroja, dan Kompleks Curug Sikarim-Sidede.

Tafrihan menyadari bahwa tantangan ke depan semakin beragam. Salah satunya kebutuhan akan berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan warga. Seperti pelatihan manajemen pariwisata, pengolahan hingga pemasaran produk pangan lokal, dan pengembangan digitalisasi wisata. Butuh kerjasama berbagai pihak untuk menghadapinya.

Desa Sembungan hari ini adalah wujud kegigihan para penggerak wisata dan kelestarian alam yang terus mengajak masyarakat lebih berdaya serta peduli lingkungan. Adanya penghargaan Kampung Berseri Astra bukan sekedar bentuk apresiasi semata, tapi juga mendorong terwujudnya desa wisata berkelanjutan yang berdaya saing untuk #kabarbaiksatuindonesia.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *